Dalam setiap masyarakat tradisional yang memiliki hubungan erat dengan alam, ada sebuah kearifan lokal. Kearifan lokal atau pengetahuan lokal menubuh dalam cerita, peribahasa, nasihat, agama, seni dan juga arsitektur. Sehingga generasi yang baru akan dapat memahami pengetahuan tentang ruang hidupnya dan terus bertahan dari goncangan zaman. Seperti dalam film Suku Sasak Menjaga Kearifan Lokal (2019) arahan Anwar Fachrudin yang menunjukan bagaimana kearifan lokal Suku Sasak mampu menyelamatkan mereka dari bencana.
Dalam film Suku Sasak Menjaga Kearifan Lokal kita akan bertemu dengan Budanom dan Jumayar yang sedang berjuang melanjutkan kehidupannya. Mereka adalah salah dua yang selamat dari gempa bumi di Lombok pada tahun 2018. Gempa itu merusak sekitar 83.000 rumah dan memakan korban kurang lebih 563 jiwa. Di lain sisi, dalam film terlihat beberapa rumah adat Suku Sasak yang masih tegak berdiri setelah diterjang gempa.
Rumah adat Suku Sasak dibangun bukan hanya dibangun dengan material yang baik, lebih dari itu, ia juga dibangun dengan pengetahuan lokal yang sudah turun temurun. Pengetahuan lokal masyarakat adat memuat aspek-aspek penting dari kehidupan sehari-hari di mana manusia dan ekosistemnya, terutama tanaman, hewan, air, dan tanah sebagai suatu yang integral. Begitu juga nilai-nilai yang ada dalam arsitektur rumah Suku Sasak dibangun atas dasar pengetahuan dan pengalaman para leluhur yang mengetahui jika Lombok adalah wilayah rawan gempa sejak ratusan tahun lalu.
Bencana alam memang diluar kendali manusia, tapi antisipasi selalu bisa diupayakan dengan modal pengetahuan. Hal yang perlu juga diperhatikan sebagai dampak yang dibawa dari modernisasi dan pembangunan adalah terpinggirkannya pengetahuan lokal. Dalam hal ini, pemerintah juga mengabaikan pengetahuan lokal, tidak belajar dari Suku Sasak. Pembangunan rumah deret yang disediakan pemerintah, dibangun tanpa adanya percakapan dengan masyarakat adat yang sudah ada di sana sejak ratusan tahun lalu. Alhasil, malu bertanya, membawa bencana. Karena semua rumah yang dibangun rata oleh gempa. Dan semua itu mahal harganya karena hilang ribuan nyawa.
Disaster Management Institute of Indonesia (DMII) memuat bahwa Lombok merupakan tatanan zona tektonik rumit dan aktif tempat pertemuan lempeng samudera Indo-Australia dan lempeng benua Eurasia. Sehingga bisa menghasilkan gempa hingga 9 magnitudo pada Skala Richter. Pengetahuan ini adalah pengetahuan modern yang mesti diukur dengan teknologi yang modern pula. Dan mungkin saja bukan pengetahuan umum yang diketahui masyarakat Suku Sasak. Tapi bukan berarti mereka tidak tahu. Hanya saja bentuk pengetahuannya berbeda, pengetahuan masyarakat Suku Sasak mewujud kisah seperti apa yang diceritakan Jumayar dari para tetuanya jika, “rumah batu suatu saat nanti akan menjadi musuh bagi penduduk Sasak.”
“Rumah batu” bila diartikan secara simbolis adalah kedatangan modernisme yang juga artinya kedatangan sebuah standar. Sebuah standar yang dipaksakan tanpa mempertimbangkan konteks kewilayahan. Misalnya saja sebuah standar jika rumah yang layak itu harus berlantai keramik. Jika tidak berlantai keramik maka tidaklah masuk kategori standar yang diciptakan oleh pemerintah dalam bentuk “Rumah Tidak Layak Huni”.
Standar-standar ini adalah produk dari modernisme yang berjalan beriringan dengan pembangunan. Sehingga kearifan lokal terancam punah karena dianggap kuno dan “terbelakang”. Padahal dalam rumah yang dicap “tidak layak huni” ini terdapat nilai untuk menunjang kebertahanan dan resiliensi jangka panjang. Narasi yang dibangun tentang masyarakat adat sebagai yang “terbelakang” ini juga menyebabkan pertikaian batin dalam diri masyarakat. Misalnya, Budanom sebagai salah satu bagian dari suku Sasak, namun memilih membangun rumah yang modern karena ada rasa malu.
Rasa malu ini pun harus dibayar mahal pada akhirnya karena rumahnya tidak tahan diterpa bencana. Tapi yang perlu digaris bawahi, jika rasa malu yang dimiliki itu adalah sebuah konstruksi sosial. Modernitas dan pembangunan dengan narasi yang dibawanya membuat komunitas adat yang dulunya tangguh, sekarang direduksi menjadi masyarakat yang bermimpi hidup di perkotaan yang individualis. Seperti Budanom yang bercerita jika ia juga ingin hidup seperti masyarakat kota yang punya rumah bagus dan rapi”
Melalui film Suku Sasak Menjaga Kearifan Lokal kita akan melihat jika narasi tentang keterbelakangan itu tidaklah tepat. Kearifan lokal dan pesan-pesan dari leluhur justru dapat menjamin keselamatan masyarakat dan generasi yang lebih muda untuk dalam jangka waktu yang panjang. Mulai dari arsitektur rumah, nilai-nilai kearifan yang luar biasa kaya perlu terus diwariskan dan diamalkan.