Transpuan Tidak Seperti yang “Mereka” Bayangkan

Transpuan Tidak Seperti yang “Mereka” Bayangkan

Sejak lama, transpuan ada di sekitar kita. Namun, dari dulu hingga sekarang, mereka kerap distigmatisasi dan transpuan pun terdiskriminasi. Perjuangan para transpuan agar bisa diterima keluarga, masyarakat, dan lingkungannya adalah kisah lama yang selalu kita dengar, lagi dan lagi. Tentu itu kabar buruk, karena hingga hari ini transpuan masih dipandang sebagai orang yang “melenceng” atau bahkan “tidak normal” oleh banyak orang. 

Transpuan—sebagaimana komunitas LGBTQIA+ lainnya—tidak akan pernah dianggap “normal” di dalam dunia yang memegang teguh heteronormativitas. Heteronormativitas pertama kali diperkenalkan oleh antropolog feminis Gayle Rubin melalui esainya Thinking Sex: Notes for a Radical Theory of the Politics of Sexuality (1993). Rubin menjelaskan bahwa  heteronormativitas adalah ideologi yang menganggap heteroseksualitas (laki-laki dan perempuan) sebagai satu-satunya bentuk hubungan seksual yang sah, dan tidak dapat diganggu gugat. Oleh karenanya praktik-praktik lain dianggap “tidak normal”.

Film dokumenter pendek Cunenk (2020) karya Mohamad Sulaeman dan Rofie Nur Fauzie membuktikan pandangan tentang transpuan yang sebaliknya. Film ini mengajak kita mengikuti keseharian Miss Cunenk, seorang transpuan yang meninggalkan desanya dan hidup di perantauan agar bisa hidup sebagai perempuan. Merantau ke wilayah Kab. Bandung, di sana Miss Cunenk menjadi seorang penghibur dan penampil.

Sepanjang film, kita tidak melihat Miss Cunenk sebagai manusia biasa. Melakukan aktivitas yang biasa dilakukan masyarakat pada umumnya, seperti berbelanja, berbisnis, bercanda,dan juga menggelisahkan perkara pakaian saat tampil di panggung. Selain itu bahkan Miss Cunenk memiliki jiwa sosial tinggi. Kita dapat melihat bagaimana Miss Cunenk melakukan sedekah dan menggalang dana bagi rumah sakit bersalin. Semuanya tampak “normal” dan tidak seperti yang distigmatisasikan.

Kembali lagi, stigmatisasi itu muncul akibat heteronormativitas yang pada akhirnya menyebabkan lahirnya aturan-aturan yang bias dan seksis. Heteronormativitas yang mengakar di masyarakat ini melahirkan diskriminasi, stereotype, stigmatisasi terhadap gender dan identitas gender tertentu, pengkriminalisasi orientasi seks dan identitas gender di luar aturan heterosentris. Heteronormativitas pada dasarnya adalah tentang norma sosial. Sehingga mendefinisikan ekspresi gender dan seksualitas mana saja yang dianggap "normal" dan dapat diterima. Tak ayal, heteronormativitas ini berkontribusi pada masalah sosial seperti patriarki, homofobia dan transfobia.

Transpuan di Indonesia terpinggirkan, terutama mulai 1980-an saat makin terkukuhkannya konstruksi gender di masyarakat. Melalui konstruksi sosial semacam bapakisme dan ibuisme yang diciptakan selama pemerintahan rezim Soeharto, ruang bagi masyarakat untuk bisa mengekspresikan gender menjadi sempit. Bapakisme dan ibuisme adalah konstruksi untuk mengontrol identitas yang “ideal”. Misalnya, bapak yang ideal harus menjadi suami dan dituruti oleh anak dan istrinya, dan perempuan yang ideal adalah sebagai ibu dan istri.

Konstruksi sosial itu tertanam dalam benak masyarakat Indonesia dan melahirkan benih-benih diskriminasi dan kebencian terhadap identitas yang tidak “ideal”, termasuk kelompok transpuan di Indonesia. Padahal, jika ditelisik lebih dalam, kebudayaan Indonesia tidak antipati terhadap identitas yang cari. Misalnya Indonesia memiliki bissu, rohaniwan transpuan dalam suku Bugis di Sulawesi Selatan. Pada masa Jawa kuno, sejumlah transpuan pun dijadikan abdi dalem yang bertugas mendampingi raja dalam berbagai kegiatan. Identitas yang cair sejatinya sudah ada sejak lama dan tidak ada masalah akan hal itu.

Film Cunenk memang tidak berfokus pada tegangan Miss Cunenk sebagai seorang transpuan dengan pandangan dunia heteronormatif yang mapan. Malahan kita melihat Miss Cunenk dari sisi kehidupan yang lebih “biasa saja” dan cenderung aman-aman saja tanpa tegangan. Bahkan kita bisa melihat Miss Cunenk dari sisi yang personal dan religius. Dia senantiasa berziarah ke makam orang tuanya yang telah tiada, untuk membersihkan makam, serta menaburi bunga dan air. Namun, dengan begitu film ini justru membatalkan asumsi masyarakat yang jarang bersentuhan langsung dengan komunitas transpuan. Bahwa sejatinya mereka tidaklah berbeda dan merupakan bagian dari masyarakat.

Mengambil sudut pandang kehidupan Miss Cunenk yang personal dan biasa saja menjadi penting, karena faktanya masyarakat Indonesia masih banyak yang intoleran, dan diskriminatif. Negara bahkan ikut meminggirkan kelompok LGBTQIA+. Hak-hak mereka sebagai warga negara banyak dilanggar. Ancaman dan rasa tidak aman semakin terasa. Belakangan, Mahfud MD bahkan sempat melemparkan isu jika kelompok LGBTQIA+ masuk ke dalam rancangan KUHP dan bisa terkena pidana karena identitasnya.

Sekarang pertanyaannya, kenapa untuk menjadi diri sendiri saja kelompok LGBTQIA+ harus terus merasa terancam? Bukankah kelompok transpuan seperti Miss Cunenk juga bagian dari warga negara yang hak hidup dan rasa amannya mesti dijamin oleh negara?

Panduan Belajar Terkait

Dokumenter Terkait

Pulang dan Berulang
Pulang dan Berulang
Pulang dan Berulang

2019. 13 mnt

Help is on the Way
Help is on the Way
Help is on the Way

2019. 93 mnt

Sa Pu Jalan Pulang
Sa Pu Jalan Pulang
Sa Pu Jalan Pulang

2018. 11 mnt

Mama Papua Melawan Perusahaan Sawit
Mama Papua Melawan Perusahaan Sawit
Mama Papua Melawan Perusahaan Sawit

2019. 22 mnt

Ahu Parmalim
Ahu Parmalim
Ahu Parmalim

2017. 25 mnt

Penderes & Pengidep
Penderes & Pengidep
Penderes & Pengidep

2014. 15 mnt

Ibu Bumi
Ibu Bumi
Ibu Bumi

2020. 22 mnt

Semesta
Semesta
Semesta

2020. 90 mnt

Meanwhile in Mamelodi
Meanwhile in Mamelodi
Meanwhile in Mamelodi

2011. 74 mnt

Daerah Hilang
Daerah Hilang
Daerah Hilang

2019. 8 mnt

Ojek Lusi
Ojek Lusi
Ojek Lusi

2017. 17 mnt

Cunenk
Cunenk
Cunenk

2020. 74 mnt

Mamapolitan
Mamapolitan
Mamapolitan

2018. 16 mnt

Dulhaji Dolena
Dulhaji Dolena
Dulhaji Dolena

2020. 26 mnt

Rumah Siput
Rumah Siput
Rumah Siput

2019. 19 mnt

Bangkit dari Bisu
Bangkit dari Bisu
Bangkit dari Bisu

2016. 29 mnt

Marzuki
Marzuki
Marzuki

2018. 7 mnt

Merupa
Merupa
Merupa

2021. 19 mnt

Menyelam Bersama Hiu dalam Perspektif Konservasi
Menyelam Bersama Hiu dalam Perspektif Konservasi
Menyelam Bersama Hiu dalam Perspektif Konservasi

2019. 5 mnt

Perempuan di Tanahnya
Perempuan di Tanahnya
Perempuan di Tanahnya

2019. 15 mnt

Angka Jadi Suara
Angka Jadi Suara
Angka Jadi Suara

2017. 22 mnt

Lakardowo Mencari Keadilan
Lakardowo Mencari Keadilan
Lakardowo Mencari Keadilan

2018. 60 mnt

1880mdpl
1880mdpl
1880mdpl

2016. 29 mnt

Tole (Children on the Street)
Tole (Children on the Street)
Tole (Children on the Street)

2018. 22 mnt

Minor
Minor
Minor

2019. 36 mnt

Luka Beta Rasa
Luka Beta Rasa
Luka Beta Rasa

2020. 35 mnt

Worlds Apart
Worlds Apart
Worlds Apart

2020. 15 mnt

Cerita Tentang Sinema dari Sudut yang Lain
Cerita Tentang Sinema dari Sudut yang Lain
Cerita Tentang Sinema dari Sudut yang Lain

2019. 39 mnt

Please Vote For Me
Please Vote For Me
Please Vote For Me

2007. 44 mnt

Suku Sasak Menjaga Kearifan Lokal
Suku Sasak Menjaga Kearifan Lokal
Suku Sasak Menjaga Kearifan Lokal

2019. 18 mnt

Artikel Terkait

Menghayati Relasi Manusia dan Alam yang Lebih Adil Melalui Semesta

Menghayati Relasi Manusia dan Alam yang Lebih Adil Melalui Semesta

Menghayati Relasi Manusia dan Alam yang Lebih Adil Melalui Semesta
Prasangka, Hanya Konstruksi Belaka

Prasangka, Hanya Konstruksi Belaka

Prasangka, Hanya Konstruksi Belaka
Tentang Mereka yang Dimarginalisasi di Tanah Sendiri

Tentang Mereka yang Dimarginalisasi di Tanah Sendiri

Tentang Mereka yang Dimarginalisasi di Tanah Sendiri
Komedi sebagai Resiliensi dalam Ojek Lusi

Komedi sebagai Resiliensi dalam Ojek Lusi

Komedi sebagai Resiliensi dalam Ojek Lusi
Kesempatan Kedua, Ketiga, dan Seterusnya

Kesempatan Kedua, Ketiga, dan Seterusnya

Kesempatan Kedua, Ketiga, dan Seterusnya
Penderes dan Pengidep: Ketika Bekerja Keras Bukan Jalan Keluar

Penderes dan Pengidep: Ketika Bekerja Keras Bukan Jalan Keluar

Penderes dan Pengidep: Ketika Bekerja Keras Bukan Jalan Keluar
Bagaimana Luka Beta Rasa Membingkai Trauma

Bagaimana Luka Beta Rasa Membingkai Trauma

Bagaimana Luka Beta Rasa Membingkai Trauma
Mencegah Bencana, Mengingat Kearifan Yang Terabaikan

Mencegah Bencana, Mengingat Kearifan Yang Terabaikan

Mencegah Bencana, Mengingat Kearifan Yang Terabaikan
Resiliensi dalam Dulhaji Dolena

Resiliensi dalam Dulhaji Dolena

Resiliensi dalam Dulhaji Dolena
Autisme Bukan Aib

Autisme Bukan Aib

Autisme Bukan Aib
Imaji dan Ironi Afrika Selatan Pasca Apartheid

Imaji dan Ironi Afrika Selatan Pasca Apartheid

Imaji dan Ironi Afrika Selatan Pasca Apartheid
Bangkit dari Bisu: Tentang Cinta, Harapan dan Dialita

Bangkit dari Bisu: Tentang Cinta, Harapan dan Dialita

Bangkit dari Bisu: Tentang Cinta, Harapan dan Dialita
1.880 MDPL: Manusia, Alam, dan Absennya Otoritas

1.880 MDPL: Manusia, Alam, dan Absennya Otoritas

1.880 MDPL: Manusia, Alam, dan Absennya Otoritas
Ahu Parmalim: Tuhan dan Keseharian

Ahu Parmalim: Tuhan dan Keseharian

Ahu Parmalim: Tuhan dan Keseharian
Memahami Sebagai Kunci: Kisah Helena dalam Mamapolitan

Memahami Sebagai Kunci: Kisah Helena dalam Mamapolitan

Memahami Sebagai Kunci: Kisah Helena dalam Mamapolitan
Belajar Demokrasi Sejak Dini

Belajar Demokrasi Sejak Dini

Belajar Demokrasi Sejak Dini
Lakardowo Mencari Keadilan… Sampai Kapan?

Lakardowo Mencari Keadilan… Sampai Kapan?

Lakardowo Mencari Keadilan… Sampai Kapan?
Menjaga Ibu Bumi Dengan Berani

Menjaga Ibu Bumi Dengan Berani

Menjaga Ibu Bumi Dengan Berani
Merawat Nostalgia Layar Tancap

Merawat Nostalgia Layar Tancap

Merawat Nostalgia Layar Tancap